Moving On

Myshaelina
4 min readAug 27, 2022

27 Agustus 2022

Tulisan ini mengendap cukup lama di notes, tidak langsung dipublish karena keterbatasan waktu dan ada beberapa hal yang masih direnungi dalam poin-poin buah pikiran yang Aku tulis. Setelah beberapa hal yang terlewati beberapa minggu kebelakang, Aku memutuskan untuk menulis ini tentunya agar menjadi catatan untuk diri sendiri, supaya Aku bisa selalu membaca bagaimana pola pikir dan perasaanku berkembang, semakin dewasa, semakin kuat.

Sengaja ditulis dalam Bahasa agar tidak ada kesalahan tafsir dan perasaan yang Aku tuangkan dalam tulisan ini menjadi lebih jelas.

Tulisan ini dimulai dengan fikiran-fikiran di dalam kepalaku yang cukup mengganggu, bahkan sepertinya sudah menjadi bayangan yang selalu mengikuti kemanapun Aku pergi sejak bertahun-tahun yang lalu.

Pikiran itu adalah perasaan bersalah kepada diriku sendiri. Karena selama ini sangat jarang, dan kesulitan untuk bisa berdamai dengan hal-hal yang Aku sudah lewati. Semua kesedihan, kesalahan, kekalahan, hal-hal buruk yang tidak Aku sangka, harapan-harapan yang belum Aku capai.

Rasa bersalah karena Aku bukannya menguatkan dan mempercayai diri sendiri yang sudah berhasil melewati badai, malah terkadang menenggelamkannya di lautan penyesalan.

Tapi beberapa waktu ini, Aku menyadari itu semua. Waktu berlalu bertahun-tahun, berjalan tanpa Aku sadari, waktu tetap bergerak walau terasa lambat dan berat. Waktu akhirnya membawaku ke titik dimana,

Aku bisa mengikhlaskan.

Setelah bertahun-tahun membaca teori filsafat Stoikisme, baru kali ini Aku bisa merasakan perasaan dimana Aku memiliki kekuatan untuk melepas fikiran-fikiran itu.

Merasakan, dan bukan hanya memahami kalimat :

Hidup Terlalu Singkat untuk Memikirkan Hal yang Tidak Bisa Kita Kontrol.

Aku tidak bertanggung jawab atas segala hal yang sudah terjadi, diluar kemampuanku. Ternyata, sangat banyak hal yang terbentuk, terlahir, terjadi, memang begitu adanya.. dan Aku tidak bisa menepis hal tersebut.. maka, yang dapat dilakukan hanyalah, menerimanya.

Salah satu hal yang tidak dapat dikontrol adalah pikiran manusia.

Pikiran manusia yang elastis, perasaan manusia yang rentan, hati manusia yang dapat selalu dibolak-balikan Tuhan.

Di masa ini, ada 7.9 miliar jiwa manusia di muka Bumi. Apabila ada 10 atau 100 orang yang tidak menyukai, menolak, menghakimi buruk, bahkan memfitnah Kita, ternyata itu adalah sebagian yang sangat amat kecil dari total keseluruhan jiwa yang bisa merasakan, berfikir, dan menilai.

Fikiran negative dan perasaan bersalah yang Aku rasakan juga, hanya 1 buah pikiran diantara miliaran.

Namun mengapa terkadang rasanya penilaian-penilaian dan pikiran negative itu menyakitkan? Padahal ternyata, buah pikiran itu sangat kecil dan tidak berdasar.

Sejatinya, fitrah dari sebuah peradaban maju adalah akan datangnya pemberontakan dan kemunduran, sebagaimana teori dari Ibnu Khaldun. Seperti itu juga, fitrah seseorang yang ingin menjadi lebih baik, adalah cobaan-cobaan yang membuatnya merasa tidak merubah apapun.

Manusia terkadang, mengucapkan dan menilai keburukan kepada orang lain. Tanpa sadar, dengan ringan melepaskan hal buruk yang dapat mempengaruhi hidup seseorang.

Selain belajar dari filsafat stoikisme, Kita juga dapat mengambil pelajaran dari peristiwa kemunduran Dinasti Abassiyah terkait masalah ini :

Jangan pernah lengah. Kita, harus selalu semangat dan tidak lengah terhadap cobaan dan godaan. Percaya pada diri sendiri bahwa Kita lah yang paling mengetahui bagaimana niat dan tujuan yang selama ini Kita amini.

Selama Aku tau, bahwa Ikigai-Ku berisi nilai kebaikan yang bukan hanya untuk diri sendiri, dan berlandaskan perasaan yang tulus.

Kualitas diri, tidak bisa ditentukan hanya dari animo orang lain.

Dalam medium ini, terdapat sedikit cerita yang aku tulis sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Namun hanya ada beberapa cerita saja sejak tahun 2014. Sedikit, karena selain adanya keterbatasan waktu, hobi menulis-Ku sempat teredam karena suatu alasan. Namun, kehilangan satu hobi yang sempat cukup erat didalam hidup-Ku tidak Aku sesali. Alasannya, sesederhana di dalam kutipan ucapan Khalifah Keempat kita, Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yakni :

Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu.

Aku yang cukup suka bercerita di dalam sebuah tulisan, tidak ingin terlalu sering menuangkan perasaan terlalu jelas tentang apa yang sedang aku rasakan. Khususnya dulu, beberapa tahun yang telah Aku lewati.

Kisah yang berat, yang luar biasa, yang aneh dan menyenangkan, sebaiknya Aku tidak ceritakan. Karena tidak akan merubah apapun. Sampai saat ini, Aku menyadari bahwa Aku tidak perlu berusaha keras memastikan pandangan orang lain terhadap diri-Ku selalu baik. Karena hal tersebut memang tidak dapat Aku kontrol.

Di dalam kutipan itu, ada keikhlasan terhadap semua yang terjadi. Fitrah manusia yang memang sejatinya lemah, hanya bisa berserah.

Bagian terakhir dari tulisan ini, Aku ingin membicarakan tentang tokoh fiksi yang menurutku hebat. Yaitu, tokoh dari kisah perjalanan Samwise Gamgee dan Frodo Baggins yang menempuh 2000 kilometer dari Shire menuju Mordor dalam menjalankan misi dari Gandalf untuk membawa The Ring dan menghancurkannya di kawah Gunung Doom di Mordor.

Cerita ini tentunya, adalah penggalan dari kisah The Lord of the Rings. Aku hanya ingin menceritakan secara singkat tentang Samwise Gamgee, tokoh yang hebat, yang selama dalam perjalanan panjang, tidak nyaman dan berat itu, Ia selalu berusaha untuk memberikan kebaikan dan kenyamanan kepada Frodo. Sam menghormati Frodo karena Sam merupakan keturunan tukang kebun Frodo.

Namun karena satu tuduhan tidak berdasar, Frodo mengusir Sam di dalam perjalanan. Namun bukannya mendendam, Samwise Gamgee, walau dalam perjalanannya Ia difitnah, diusir, dan kesakitan, namun Ia tetap berusaha baik. Bahkan memastikan orang yang menyakitinya tetap baik-baik saja.

Tentu saja, pelajaran dari cerita ini sangatlah bermakna, meskipun Aku sendiri saat ini belum memiliki kekuatan untuk menjadi seberani dan sekuat Samwise Gamgee. Namun Aku belajar dari nilai kebaikan seperti itu. Aku ingin mengaplikasikan kebaikan di dalam cerita fiksi ini ke dalam kehidupan nyata yang Aku jalani. InsyaAllah.

Because the essence of right living, is to do good to others, dan berbuat baik, adalah ciri khas seorang muslim sesungguhnya.

Samwise Gamgee Quote

--

--

Myshaelina

Kata dan Rasa tak semua dapat terucap, namun setidaknya sanggup dituliskan